Bos Stellantis: Perceptan Transisi EV Bisa Bikin Bisnis Amburadul
Detroit, Avolta – Seiring kebijakan otoritas Uni Eropa dan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang memperketat aturan emisi gas karbon telah membuat dua wilayah ini – seperti di sejumlah wilayah lainnya – bertransisi menuju era mobil listrik (EV). Begitu pun dengan industri otomotif.
Seperti dilaporkan Reuters, Selasa (7/12/2021) dalam konferensi yang digelar kantor berita itu – belum lama ini – dua pabrikan kondang yakni Ford Motor Company (Ford) di Eropa dan General Motors mengaku saat ini sedang dalam tahap awal transisi ke kendaraan listrik baterai murni. GM mematok target transisi ini bisa kelar pada tahun 2035.
Begitu pula dengan produsen mobil yang lebih kecil seperti Jaguar dan Volvo, masing-masing mematok tahun 2025 dan 2030, sebagai batas tenggat mulainya era mobil listrik. Namun ternyata tak semua bos pabrikan mobil sepakat dengan batas waktu itu.
Setelah Chairman Toyota Motor Corporation (Toyota) Akio Toyoda yang beberapa waktu lalu dikabarkan bersuara lantang mengingatkan para pembuat kebijakan di dunia (termasuk pemerintah Jepang) tentang konsekwensi dari lompatan ke mobil listrik terhadap industri dan ekonomi nasional, kini giliran Chief Executive Officer Stellantis, Carlos Tawares yang bersuara keras.
Berbicara di konferensi Reuters, Tavares memperingatkan pemerintah, khususnya AS dan Eropa, bahwa percepatan peralihan ke mobil listrik yang disebutnya akan mengancam kelangsungan pekerjaan karyawan dan kualitas kendaraan.
“Apa yang telah diputuskan untuk memberlakukan elektrifikasi industri otomotif akan mengakibatkan mereka mengeluarkan biaya tambahan 50% untuk kendaraan konvensional produksinya (jika diganti mobil listrik). Tidak mungkin kami mentransfer 50% dari biaya tambahan ke konsumen akhir, karena itu semua akan mengakibatkan sebagian besar kelas menengah tidak akan mampu membelinya,” papar dia.
Walhasil, lanjut Tavares, pabrikan mobil dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, mematok harga yang lebih tinggi namun mengakibatkan tidak lakunya produk. Kedua, tetap mempertahankan harga murah tetapi keuntungan minim tetapi harus memutus hubungan kerja (PHK) karyawan.
Artinya, tatanan bisnis yang dibangun pabrikan selama ini bisa amburadul. “Karena itu, perlu dipikirkan lebih matang untuk percepatan transisi ini. Kami tidak menentang kehadiran mobil listrik. Melainkan meminta agar kebijakan yang meminta pabrikan untuk cepat bergegas mengadopsi kebijakan itu akan mengakibatkan mereka harus merogoh biaya biaya di luar batas mereka,” papar Tavares seperti dilansir Detroit Tribune.
Tak menentang EV
Stellantis, saat ini diketahui akan segera bergabung dengan dunia mobil listrik dengan menyodorkan pikap Ram 1500 dan Jeep Wrangler listrik. Pabrikan ini berusaha untuk menghindari pemutusan hubungan kerja dengan meningkatkan tingkat produktivitas yang melampaui standar industri.
“Selama lima tahun ke depan kita harus memacu produktivitas per tahun 10% lebih tinggi… dalam industri yang digunakan untuk memberikan peningkatan produktivitas 2% hingga 3%. Kami berusaha menempatkan industri pada batas-batasnya,” kata Tavares.
Sekadar informasi, Stellantis adalah perusahaan hasil merger antara perusahaan Italia-Amerika (yakni Fiat Chrysler Automobiles) dengan perusahaan Prancis, Groupe PSA dengan kepemilikan saham masing-masing 50% : 50%. Merger disahkan pada 16 Januari 2021.
Grup ini memiliki sejumlah merek yaitu Abarth, Alfa Romeo, Chrysler, Citroën, Dodge, DS Automobiles, Fiat, Fiat Professional, dan Jeep. Kemudian merek Lancia, Maserati, Mopar, Opel, Peugeot, Ram Trucks, dan Vauxhall. (Fan/Ara)